Search This Blog

Wednesday, February 16, 2011

Membutuhkan Atau Tidak?

Pagi ini seorang kawan dalam jaringan perburuhan mengirimkan email berisi kegelisahan akan anak-anak bangsa yang telah menjadi begitu konsumeris, atau hedonis dalam bahasanya. Masih sekecil anak-anak SD sudah akrab dengan semua jenis handphone, blackberry, bahkan mobil-mobil edisi terakhir. 

Memang tak banyak artinya kita hanya mencela tanpa mencari hal-hal yang secara prinsipial bisa dipraktekkan sebagai pribadi, sebagai keluarga, sebagai bangsa. Pikiranku jelalatan mencari apa yang bisa kita lakukan.
Saya teringat contoh ini. Sebuah keluarga Indonesia beranak empat yang tinggal di Delaware mengisahkan bagaimana  mengubah anak-anak yang semula tak suka sayur akhirnya bisa dan terbiasa makan sayur. Sang ibu melatih anak dengan sebuah pertanyaan, “Apakah saya (badan saya) memerlukan sayur?” Akhirnya, tanpa dikomando anak-anak itu bisa dan terbiasa mempertimbangkan sendiri untuk memakan sayur atau apapun yang semula ia tak suka.
Berkaca dari contoh itu saya seolah tak berhak ngomel bila anak-anak terjebak hedonisme, karena kita sendiri gagal melatih diri dan keluarga untuk memilih karena membutuhkan, bukan karena mengingini. Ada banyak cara untuk menanamkan cara pikir ini, yakni dengan melatih setiap anak mempertimbangkan apakah barang yang kita inginkan sungguh membawa manfaat, apakah sungguh merupakan kebutuhan? 
Tentu ini tida segampang teori, anak-anak juga pandai menjawab. Pernah saya dibuat kelabakan oleh pertanyaan saya untuk merefleksikan betapa merugikan orang tua kalau anak-anak menyontek, dan anak-anak menjawab: justru menguntungkan, karena membuat sekolahnya cepet selesai, menyenangkan orang tua dengan nilai yang baik. Kembali pada gejala konsumtif, pastilah banyak anak, bahkan banyak orang tuanya yang bisa berkilah bahwa semua itu bermanfaat bagi mereka untuk kontak keluarga, tambah teman, keselamatan anak, agar anak-anak tidak gaptek seperti bapaknya, dan sebagainya. Ya, semua ada alasannya.  Tugas kita adalah menjadi cerdik memiliki atau tidak memiliki, menggunakan dengan cara sebijak-bijaknya. 
Perintah untuk menjadi cerdik seperti ular tentulah bukan perintah untuk ngakali orang saja, tetapi perintah untuk ngakali dunia, agar kita tidak dimanfaatkan, sebaliknya bisa memanfaatkan segala sesuatu secara maksimal dan optimal, sebesar-besarnya dan sebaik-baiknya. Entah soal suka atau tidak suka, kita memang perlu membiasakan anak mempertanyakan manfaat, bukan sekedar manfaat sesaat, tetapi juga manfaat untuk masa depan umat manusia. 
Sebagai bangsa, kita terkenal sebagai negara konsumer. Dua hari lalu aku denger radio yang mengatakan Indonesia adalah bangsa pemakai facebook terbesar ke dua di dunia. Yang pertama entah negara mana, mungkin Amerika sendiri. Dan di sebuah buku tercatat kombinasi Indonesia, Malaysia, dan Filipina merupakan 60% pemakai facebook. Bukan soal facebooknya, sayapun memakai jaringan itu, tetapi alat yang dipakai facebook tentulah alat elektronik yang kebanyakan diproduksi negara lain. Jelas sekali kita adalah pangsa pasar yang dilihat dari bangsa lain sebagai bangsa pasar. 
Seperti apapun lukanya pola hidup kita, negara lain atau produsen tak peduli. Kini tak banyak artinya kalau kita mencurahkan tenaga untuk mencela orang lain, kita yang harus bekerja keras setiap hari untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan baru bagi keluarga dan bangsa.

parnocm16februari2011

1 comment:

  1. Ini merupakan topik yang sangat menarik.
    Saya pikir teknologi itu merupakan sebuah dilema yang tidak akan pernah berhenti. Saya sendiri merasa bingung harus mengikuti atau tidak. Beberapa karyawan saya pernah mengatakan "kok cell phone supervisor masih flip phone" karena pada saat itu saya masih menggunakan HP yg sudah 7 thn umurnya. Saya dengan tegas mengatakan, kalau hp ini masih bisa menghubungi kamu dengan mudah. Selain itu lebih tahan banting ketimbang smart phone kamu. Mereka hanya menanggapi dengan senyum.
    Kemudian saya bertanya tujuan mereka memiliki smart phone? Hampir semua mengatakan demi gengsi. Tapi menurut saya teknologi memiliki efek samping yang buruk buat masyarakat. Masalah yang paling utama adalah mendidik manusia menjadi malas. Yang kedua merusak kesehatan dan saya rasa masih banyak lagi.
    Beberapa saat yang lalu saya membaca berita tentang seorang pemuda yang meninggal di warnet ketika main computer game. Diduga penyebab kematian si pemuda adalah duduk terlalu lama sehingga peredaran darah di tubuhnya berhenti. Selain itu berada di depan komputer atau tv terlalu lama tanpa berkedip juga di katakan akan merusak mata, hal ini saya dapatkan dari sebuah buku kesehatan. Beberapa teman anak teman saya harus menggunakan kacamata di usia yang sangat muda, selidik punya selidik ternyata si anak hampir separuh waktu di rumah main play station atau piranti game yang lain. Selain itu banyak kecelakaan di jalan disebabkan oleh cell phone.
    Saya harap kita bisa lebih bijaksana dalam mengikuti teknologi.

    ReplyDelete