Tanggal 14 November
2012, dengan ransel di punggungku aku berangkat cuti menyusuri Palembang,
Baturaja, Bangka, dan Belitung. Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke
Kota Palembang. Meski demikian, nama Palembang bukan pendatang baru di benakku. Mengunjungi Palembang bagiku menjadi seperti
ziarah ke masa kecil. Hal ini terjadi
karena di masa kecilku ada banyak orang bertransmigrasi ke Palembang dan daerah-daerah lain di Pulau Sumatra. Segar
diingatanku bagaimana orang menyebut nama-nama Semantrah (maksudnya Sumatra),
Njambe (Jambi), Nglampung (Lampung), Rio (Riau), Plembang (Palembang), dan sebagainya. Orang menyebut
Palembang sudah seperti kampung halamannya sendiri.
Lebih dari
itu Palembang menjadi kota yang sangat familier di keluargaku. Kakakku dan
kakak iparku bekerja bertahun-tahun di Palembang di perusahaan pengolahan kayu
lapis. Nama-nama jalan di kota Palembang dan gambaran kotanya menjadi
pembicaraan kakak-kakakku ketika mereka pulang berlibur, bahkan ketika mereka sudah berhenti bekerja di Palembang.
Meski nama
sudah begitu familier, namun aroma petualangan memasuki kota baru juga begitu
terasa. Pantas kalau mataku memandang liar ke tamilan-tampilan yang
mengejutkan, ada papan-papan nama yang aneh seperti "bebek Baris", "Ayam Lepas". Ada pula situasi bandara yang bagus dan lancar serta
pembangunan kawasan di mana-mana. Beberapa tempat berjubel reklame iklan
bisnis, baliho-baliho kampanye pemilihan kepala daerah, jembatan legendari,
Ampera, yang menyeberangkan orang dari dua sisi Sungai Musi. Tentu tak
ketinggalan adalah bangunan-bangunan gelanggang olah raga yang menjadi ikon baru yang membawa Palembang
semakin naik daun. Meski di sana tercium aroma Nazarudin dan “teman-teman
pesta”-nya.
Perjalanan
saya mengarah ke Baturaja dengan travel L300 yang sangat panas. Di bawah
temaram kuning matahari sore terbacalah oleh mata saya sebuah papan nama yang menyentak
kesadaran saya. Papan itu bertulis “Prabumulih.” Nama Prabumulih telah
menyentak kesadaran saya bahwa saya sedang berada di situs Novel Saman tulisan
Ayu Utami. Tentu tak mudah mengingat kembali rangkaian cerita Novel Saman,
namun fakta-fakta sosial, lebih tepatnya pertikaian di seputar pertambangan
minyak bumi, perkebunan karet dan kelapa sawit menjadi setting bagi cerita ini. Meskipun nuansa pemberontakan pemaknaan
sex menjadi begitu dominan dalam novel ini, namun tak perlu menipiskan kejelian
kita akan sisi lain dalam novel itu, yakni penindasan yang semakin menyesak seiring dengan
hadirnya pertambangan dan perkebunan karet dan sawit di Prabumulih.
Mengapa saya
mengangkat ini? Novel saman serasa menjadi catatan masa lalu sekaligus nubuat sosial
tentang apa yang akan terjadi puluhan tahun kemudian, yakni ditulis dan
diberlakukannya Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
yang diberlakukan semenjak tahun 2011. Pada
halaman 51 buku putih pembanguan itu tercatat: “Secara umum, Koridor Ekonomi
Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan
ekonomi utama seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batubara.” Begitu
jelas bahwa perkebunan dan pertambangan menjadi pintu yang seolah-olah akan
mensejahterakan Sumatra dan tanpa masalah yang akan menyertainya.
Tentu tak ada
salahnya, bahkan harus diacungi jempol kalau MP3EI Koridor Sumatra itu memang sebuah mimpi untuk
kesejahteraan bangsa, khususnya masyarakat Sumatra. Akan tetapi sesungguhnya pelaksanaan
MP3EI mengandung banyak pertanyaan, bagaimana menghandle konflik penyerobotan tanah adat dengan aneka trik yang
dilakukan perusahaan-perusahaan besar, bagaimana dengan masyarakat yang berubah
pola hidup dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan, bagaimana menangani
konflik horisontal yang ditimbulkan oleh ketegangan pro kontra pelaksanaan
mimpi MP3EI di wilayah perkebunan dan pertambangan ini, bagaimana mengatasi korupsi di tingkat daerah yang merebak seiring dengan beredarnya uang besar di daerah, bagaimana modal-modal
sosial dan nilai-nilai lokal masyarakat asli dipertahankan, bagaimana memberi
varean berpikir pada anak-anak yang harus hidup di alam homogen, bagaimana menghadapi investor-investor asing yang tak punya kepentingan akan nasionalisme dan berlangsungnya peradaban masyarakat lokal, bagaimana
menyiapkan batasan sehingga pertambangan tak berubah bentuk menjadi ekspoitasi alam belaka?
Saya menulis
ini untuk menjadi waspada atas apa yang biasa dan bisa terjadi, yakni ketika
program-program pemerintah tak dikomunikasikan dengan adil, terutama kepada
pihak-pihak yang akan terpinggirkan atau dirugikan oleh kebijakannya. Tanpa
kewaspadaan itu, kita sama dengan menyerahkan diri untuk menjadi lapisan
terbawah dalam piramida korban pembangunan. Pada saat ini ada banyak konflik
di wilayah Sumatra. Lampung, Aceh, dan Jambi baru saja membara. Apakah kita akan
menutupi seolah pelaksanaan MP3EI tak ada hubungannya dengan semua konflik
sosial itu? Demi kesadaran bersama, kita
perlu menjawab bersama.
(Palembang 17
November 2012)