Search This Blog

Friday, April 6, 2018

MAJU BERSAMA KAMBING

Pemandangan ini semula biasa saja. Sebuah kandang kambing dengan dua ekorl induk betina dan empat anak kambing tanggung yang sudah agak besar.  Yang mengejutkan adalah bahwa di situ ada lima anak kambing umur semingguan.

Rasa penasaran saya tentang kabing beranak-pinak itu ditimpali cerita bangga Alberto Baros, pemilik kambing-kambing tersebut. Lelaki berdarah Timor Leste itu begitu berhasrat mendemonstrasikan keajaibannya kepada saya. Dia berkata bahwa ini kandang perluasan, aslinya tak jauh di situ, berisi tigapuluhan kambing. Sayapun memandang dengan terperangah kandang penuh kambing yang ditunjuk Baros.

Mengawali kisahnya ia bercerita, "Saya beli satu kandang berisi 14 ekor kambing, seharga tuju juta." Hal itu terjadi tiga setengahan tahun lalu. Dari situ ia mengembangkan. Triknya dia hanya memelihara yang betina, sehingga beranak, beranak, dan beranak. Anak jantannya dijual. 

"Saya memilih kambing jenis kampung ini, gak terlalu besar juga tidak terlalu kecil. Dengan demikian jualnya gak susah." Konsumen memang membeli ukuran tanggung, harganya terjangkau untuk kurban dan aqikah keluarga-keluarga menengah ke bawah. Demikian ia menunjukkan kepiawaiannya membaca peluang. 

Baros telah memetik hasil. "Saya sudah pernah jual beberapa kali. Penjualan terbesar saya jadikan modal untuk beli tanah, sehingga kelak saya bisa berpindah di tempat yang dekat dengan sekolah, sehingga tak terlalu jauh menyekolahkan Dina anak saya, yang hampir masuk SD." Kisahnya bersinar-sinar.

Kehidupan produktif ini terjadi pada keluarga buruh perkebunan kelapa sawit PTPN 7 Afdeling 2 Sungai Lilin, Palembang, yang berjarak 150an kilometerdr pusat kota Palembang. Kisah kreatifitas ekonomi itu menjadi semakin berarti karena terjadi di antara para imigran dari Timor Leste yang migrasi ke Palembang setelah peristiwa referendum Timor-timur yang menegangkan.

Mereka sudah mengalami pahit getirnya tercabut dari kampung halaman tanpa bekal apapun, hidup di penampungan, dan harus hijrah ke tanah yg belum pernah mereka kenali. Kini ujian berlanjut, apakah mereka punya nyali  untuk bangkit dan menjadikan masa depan mereka bak tanah terjanji, keluarganya hidup sejahtera. Memang belum sampai puncak cita-citanya, tetapi paling tidak Baros sudah bisa membuktikan bahwa dia bisa maju bersama kambing.

"Kerjanya mudah, tinggal membuka menutup kandangnya, kambing-kambing ini sudah keluar cari makan sendiri dan masuk berteduh sendiri." tambahnya. Dengan gaji pokok 240.000 dan premi yang sudah lumayan cukup untuk menutup kebutuhan rumah tangga, kini Baros menerima paling tidak satu juta rupiah perbulan. Dengan bangga ia mengatakan tanpa beban, "Itu bonus bulanan, tabungan berkaki empat."

Monday, March 26, 2018

Mengijinkan Anak Bertanya “Mengapa”

Ada cukup banyak keluarga Indonesia di Amerika yang memulangkan anaknya ke Indonesia untuk sekolah di tanah air. Ketika ditanya alasannya, beberapa menjawab: “Pendidikan di sini mengerikan. Anak-anak menjadi nakal, tidak sopan terhadap orang tua, dikit-dikit bertanya ‘kenapa’”. Terkadang mereka menegaskan “Lebih baik dididik sopan santun di Indonesia”

Pernyataan tersebut meyiratkan apa yang sudah ditradisikan di Indonesia bahwa anak sopan itu mestinya tidak bertanya-tanya “mengapa”. Banyak orang tua, bahkan guru, yang berkesimpulan bahwa anak tak perlu menanyakan alasan melakukan sesuatu, cukuplah melakukan, melakukan, dan melakukan. Anak yang dianggap saleh dan pintar adalah yang cepat mengatakan “ya” tanpa mempertanyakan apapun. 

Tanpa kita sadari, kita telah mengubur hasrat kritis yang menjadi kemampuan dasar manusia. Adakah yang harus disalahkan ketika anak didik kita tumpul dalam menganalisa? Siapa yang harus diajak bicara ketika melihat anak kita tak siap menghadapi perbedaan pendapat? Bagaimana kita akan menelusuri mental “yes man”, yang mendarah daging di dunia kerja? Semua tak lepas dari lemahnya mata rantai pendidikan kita mulai dari keluarga, sekolah, dan masyarakat, yang tak memberi ruang kepada anak kita untuk bertanya “mengapa”

Paling Sulit
Harus diakui, menjawab pertanyaan ‘mengapa’ memang melelahkan bagi siapapun.  Ketika anak kita masih kecil dan bertanya, “Itu apa Ma?” Tak sulit bagi kita menjawab “Itu pohon”. Namun kernyit kening akan mulai mewarnai dahi kita ketika ditanya, ‘Mengapa pohonnya menjadi besar, mengapa daunnya hijau, mengapa dahannya ada yang besar ada yang kecil’,  dan sebagainya. Tak jarang kata kasar muncul sekedar untuk menghentikan anak bertanya yang “aneh-aneh”. Secara alamiah pertanyaan kritis sudah akan membebani kita. Tak heran kalau hari demi hari kita mencoba menyingkiri pertanyaan yang demikian. Dan tanpa terasa pengalaman sulit itu telah melahirkan sebuah kesimpulan bahwa bertanya “mengapa” itu tidak diijinkan. 

Sanggar “MENGAPA” 
Sanggar Merah Merdeka (SMM) bukan menyediakan tempat di mana anak-anak melulu mengenyam pendampingan belajar akademik, bukan juga melulu untuk mengembangkan kesenian tari, suara, atau lukis. Dengan segala keterbatasannya, Sanggar ini memberi ruang kritis anak-anak untuk menjawab pertanyaan ‘mengapa’ lewat kegiatan akademik dan non akademik. Meski melelahkan, anak-anak tetap diajak belajar berinteraksi tentang dunianya, tentang kondisi lingkungannya, mengapa tak boleh berputus asa. Mereka diajak memahami bersih atau kotor rumahnya, untuk menjawab mengapa mereka memerlukan udara, air, makanan yang bersih dan sehat. Mereka berbicara tentang sampah yang terurai dan tak terurai, untuk mengatakan mengapa kita harus membuang atau memanfaaatkannya secara berbeda. Mereka berbicara tentang menabung, untuk menjawab mengapa mesti mereka yang paling bertanggungjawab atas masa depan sekolahnya. Mereka harus belanja untuk acara-acara bersama, untuk menjawab mengapa mereka harus menata keseimbangan antara pengeluaran dan pendapatan.  Masih banyak latihan yang lain lagi.

Seandainyapun mereka tak mendapatkan kesempatan sekolah karena keadaan ekonomi mereka, berharap kelak mereka akan menjadi orang-orang yang mandiri mulai dari pikiran mereka; sebuah pikiran yang tak takut bertanya “mengapa” sampai mereka harus menghidupi fase hidup berikutnya.