Search This Blog

Sunday, November 18, 2012

Palembang-Prabumulih, Dari Ziarah Memori Ke MP3EI

Tanggal 14 November 2012, dengan ransel di punggungku aku berangkat cuti menyusuri Palembang, Baturaja, Bangka, dan Belitung. Ini adalah pertama kalinya saya berkunjung ke Kota Palembang. Meski demikian, nama Palembang bukan pendatang baru di benakku. Mengunjungi Palembang bagiku menjadi seperti ziarah ke masa kecil.  Hal ini terjadi karena di masa kecilku ada banyak orang bertransmigrasi ke Palembang  dan daerah-daerah lain di Pulau Sumatra. Segar diingatanku bagaimana orang menyebut nama-nama Semantrah (maksudnya Sumatra), Njambe (Jambi), Nglampung (Lampung), Rio (Riau), Plembang (Palembang), dan sebagainya. Orang menyebut Palembang sudah seperti kampung halamannya sendiri. 

Lebih dari itu Palembang menjadi kota yang sangat familier di keluargaku. Kakakku dan kakak iparku bekerja bertahun-tahun di Palembang di perusahaan pengolahan kayu lapis. Nama-nama jalan di kota Palembang dan gambaran kotanya menjadi pembicaraan kakak-kakakku ketika mereka pulang berlibur, bahkan ketika mereka sudah berhenti bekerja di  Palembang.

Meski nama sudah begitu familier, namun aroma petualangan memasuki kota baru juga begitu terasa. Pantas kalau mataku memandang liar ke tamilan-tampilan yang mengejutkan, ada papan-papan nama yang aneh seperti "bebek Baris", "Ayam Lepas". Ada pula situasi bandara yang bagus dan lancar serta  pembangunan kawasan di mana-mana. Beberapa tempat berjubel reklame iklan bisnis, baliho-baliho kampanye pemilihan kepala daerah, jembatan legendari, Ampera, yang menyeberangkan orang dari dua sisi Sungai Musi. Tentu tak ketinggalan adalah bangunan-bangunan gelanggang olah raga  yang menjadi ikon baru yang membawa Palembang semakin naik daun. Meski di sana tercium aroma Nazarudin dan “teman-teman pesta”-nya.

Perjalanan saya mengarah ke Baturaja dengan travel L300 yang sangat panas. Di bawah temaram kuning matahari sore terbacalah oleh mata saya sebuah papan nama yang menyentak kesadaran saya. Papan itu bertulis “Prabumulih.” Nama Prabumulih telah menyentak kesadaran saya bahwa saya sedang berada di situs Novel Saman tulisan Ayu Utami. Tentu tak mudah mengingat kembali rangkaian cerita Novel Saman, namun fakta-fakta sosial, lebih tepatnya pertikaian di seputar pertambangan minyak bumi, perkebunan karet dan kelapa sawit menjadi setting bagi cerita ini. Meskipun nuansa pemberontakan pemaknaan sex menjadi begitu dominan dalam novel ini, namun tak perlu menipiskan kejelian kita akan sisi lain dalam novel itu, yakni penindasan yang semakin menyesak seiring dengan hadirnya pertambangan dan perkebunan karet dan sawit di Prabumulih. 

Mengapa saya mengangkat ini? Novel saman serasa menjadi catatan masa lalu sekaligus nubuat sosial tentang apa yang akan terjadi puluhan tahun kemudian, yakni ditulis dan diberlakukannya Mater Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang  diberlakukan semenjak tahun 2011. Pada halaman 51 buku putih pembanguan itu tercatat: “Secara umum, Koridor Ekonomi Sumatera berkembang dengan baik di bidang ekonomi dan sosial dengan kegiatan ekonomi utama seperti perkebunan kelapa sawit, karet serta batubara.” Begitu jelas bahwa perkebunan dan pertambangan menjadi pintu yang seolah-olah akan mensejahterakan Sumatra dan tanpa masalah yang akan menyertainya.

Tentu tak ada salahnya, bahkan harus diacungi jempol kalau MP3EI Koridor Sumatra itu memang sebuah mimpi untuk kesejahteraan bangsa, khususnya masyarakat Sumatra. Akan tetapi sesungguhnya pelaksanaan MP3EI mengandung banyak pertanyaan, bagaimana menghandle konflik penyerobotan tanah adat dengan aneka trik yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar, bagaimana dengan masyarakat yang berubah pola hidup dari pemilik tanah menjadi buruh perkebunan, bagaimana menangani konflik horisontal yang ditimbulkan oleh ketegangan pro kontra pelaksanaan mimpi MP3EI di wilayah perkebunan dan pertambangan ini, bagaimana mengatasi korupsi di tingkat daerah yang merebak seiring dengan beredarnya uang besar di daerah, bagaimana modal-modal sosial dan nilai-nilai lokal masyarakat asli dipertahankan, bagaimana memberi varean berpikir pada anak-anak yang harus hidup di alam homogen, bagaimana menghadapi investor-investor asing yang tak punya kepentingan akan nasionalisme dan berlangsungnya peradaban masyarakat lokal, bagaimana menyiapkan batasan sehingga pertambangan tak berubah bentuk menjadi  ekspoitasi alam belaka?

Saya menulis ini untuk menjadi waspada atas apa yang biasa dan bisa terjadi, yakni ketika program-program pemerintah tak dikomunikasikan dengan adil, terutama kepada pihak-pihak yang akan terpinggirkan atau dirugikan oleh kebijakannya. Tanpa kewaspadaan itu, kita sama dengan menyerahkan diri untuk menjadi lapisan terbawah dalam piramida korban pembangunan. Pada saat ini ada banyak konflik di wilayah Sumatra. Lampung, Aceh, dan Jambi baru saja membara. Apakah kita akan menutupi seolah pelaksanaan MP3EI tak ada hubungannya dengan semua konflik sosial itu?  Demi kesadaran bersama, kita perlu menjawab bersama. 

(Palembang 17 November 2012)