Di China orang muda pergi ke Suzhou untuk cuci mata dan orang-orang kaya bermukim di sana untuk menikmati hari tua. Demikian Yeny sang pramuwisata di Suzhou membuka cerita tentang kota berpenduduk enam juta di wilayah China bagian selatan itu. Begitu bis wisata berjalan tenang, gadis asli Suzhou yang fasih berbahasa Indonesia ini segera menerangkan apa saja yang spesial di kota kuno, Suzhou. “Kota kuno Suzhou memiliki alam yang indah, temperatur yang ramah, dan yang terpenting adalah di Suzhou ….,” Yeny memberi jeda untuk menyebut lanjutannya “Suzhou adalah tempatnya gadis-gadis yang berparas cantik.“
Gadis manis yang bernama asli Su Tsi Yen itu memancing peserta tour untuk melatih bahasa Mandarin yang akan berhubugan dengan Suzhou. “Cantik itu apa dalam bahasa Mandarin?“ godanya dengan lincah. “Ayou” jawabnya dengan centil. Rupanya tulisannya sama dengan bahasa Indonesia “Ayu” yang diucapkan seperti ayou. “Lalu kalau cantik sekali?” tanya lanjut dengan menggoda, lalu ia jawab “Ayou yo” sambil tertawa renyah. Yeny memberi pelajaran lebih dengan cara memanggil nenek, kakek, kakek dari pihak ayah, kakek dari pihak ibu dan sebagainya. Ia menambahkan lagi mengapa keluarga China tradisional yang memiliki anak lelaki dewasa segera menyiapkan tiga barang, yakni pispot, selimut, dan satu set mangkok-sumpit. Pispot berguna kelak untuk sang istri melayani suami kencing di dalam rumah pada malam hari, selimut untuk memberi kehangatan dan kemesraan tidur, dan mangkok-sumpit yang melambangkan doa untuk mereka segera memiliki anak. Dari aneka paparan tersebut nampak sekali wajah para wisatawan yang berjumlah dua puluh lima orang itu mulai tertarik pada budaya China, khususnya Suzhou.
Rumah Orang
Kaya Kuno
“Mengapa orang kaya tinggal di sini?”, ia mengangkat memori pengunjung, dan serentak beberapa orang menjawab, “Alam dan gadis cantik” sambil tertawa riang. Puas dengan jawaban itu, Yeny melanjutkan kisahnya bahwa rumah itu tak pernah mengalami renovasi besar hingga saat ini, dinding dan kayu-kayunya masih asli sejak dibangun Tahun 1509.
Masuk melawati sebuah
pintu kecil Yeny mengajak pengunjung belajar kebiasaan orang China kaya kuno
yang selalu membuat pintu masuk yang kecil. Orang lain seperti terkelabuhi
ketika mengetahui bagian dalamnya ternyata sangat luas. Kekayaan pada jaman kuno
tidak ditunjukkan pertama-tama pada tampilan luar, tetapi isi dalamnya. Orang
kaya kuno juga ditandai dengan batu yang beraneka bentuk, hampir seperti patung
seni instalasi. Dengan lincah gadis yang menyebut dirinya “made in Souzou” ini
berseloroh menyindir orang Indonesia yang suka pamer rumah dan mobil mewah.
Sutera
Lepas dari tempat itu ia mengajak pergi ke Tiger Hill, tempat
pagoda miring yang tak jauh dari situ, dan kampung air ala Venezia, Italia, dan kemudian mengunjungi maskot Kota Suzhou, yakni Kampung Sutra, di
mana di situ dialkukan budidaya ulat sutera, dan industry kain sutera dari
jaman-ke jaman. Ia mengisahkan sejarah peredaran sutera sampai ke berbagai
belahan dunia, termasuk ke Semarang yang dibawa oleh Panglima Cheng Ho dan para saudagar di kemudian
hari. Dengan memukaunya ia mengisahkan mengapa orang-orang tua Suchou
sehat-sehat, berjalan tegak meski mendaki, tak ada yang terkena penyakit
rematik. Ironisnya, putri China yang
pernah ke Indonesia ini melihat banyak orang tua di Indonesia tak bisa berjalan
tegak lagi. Dengan yakin ia mengatakan,
karena orang Indonesia tak melindungi persendiannya dengan selimut yang
benar. Selimut terbaik terbuat dari sutra, tegasya. Secara detail ia
menerangkan bagaimana ulat sutera memproduksi air liur yang mengandung kolagen
yang sangat bermanfaat untuk melindungi persendian.
Kita Kaya
Melihat paparan gadis usia dua puluh lima hingga tiga puluhan
tahun itu seorang teman yang duduk di sebelah saya berkata, “Ia pintar
menjual”. Ya, itulah pembelajaran yang sangat berharga, ketika seseorang
benar-benar mengenali sejarah kotanya, seluk-beluk yang istimewa, aneka
perilaku dan filosofi yang melatarbelakanginya, serta mengemasnya menjadi
sesuatu yang sangat membanggakan dan layaknya pedagang mempromosikan barangnya
dengan mengatakan “Rugi, kalau kita tak mengunjungi kota ini.”
Hal ini mengingatkan kita pada betapa kayanya Indonesia dan
betapa miskinnya cara bangsa ini mengemas kekayaanya. Bangsa-bangsa Eropa pada
masa kolonial berlomba merebut tanah nusantara karena rempah-rempahnya, tetapi
faktanya saat ini tak banyak budidaya yang secara sengaja dijadikan kebanggaan
bangsa. Kita memiliki beberapa peninggalan sejarah aneka kerajaan besar yang
ekspansinya sangat luas, tetapi kita tak mampu mengemas menjadi sumber-sumber pembentukan
karakter bangsa yang layak dibanggakan. Kita memiliki pantai yang melingkari
belasan ribu pulau, tetapi tak mampu mengemas dengan tradisi hidup masyarakat
pulau tersebut dan secara masif “menjual” sebagai kekayaan yang layak dijadikan
pembelajaran bagi bangsa lain. Alih-alih, orang serakah malah menjual fisik
pulau-pulau yang ada kepada pihak-pihak yang tertarik menjadikannya pantai dan
resort privat.
Hal ini pada hemat saya bukan hanya sebuah proyek pariwisata,
tetapi proyek kehidupan, yang dimulai dengan pembentukan nilai-nilai individual
dan komuniter dalam keluarga, dilanjutkan dengan pendidikan yang
membebaskan siapapun melakukan eksplorasi
dengan bebas dan maksimal, dilanjutkan dengan rasa syukur atas kebinekaan yang
membuahkan kekayaan tiada taranya. Pariwisata tinggal menjadi proyek untuk
tersenyum mempersilakan bangsa lain datang menimba sukacita dari bangsa kaya
sumber daya dan sumber nilai-nilai
kehidupan ini.
Kita boleh bangga, banyak tempat menjadi kampung wisata. Lebih bangga lagi kalau semua disertai dengan kedalaman pemahaman akan nilai-nilai yang dihidupi komunitas-komunitas lokalnya dari jaman ke jaman.
Suzhou, 19 Desember 2019